Kegiatan pemberdayaan masyarakat dan pelibatan masyarakat secara partisifatif menjadi syarat mutlak dalam pembangunan kehutanan yang berkelanjutan. Tentu saja, tidak hanya penghijauan, reboisasi dan konservasi saja yang menjadi focus utama dalam wacana menyelamatkan hutan dan SDA lainnya, yang utama adalah bagaimana masyarakat di dalam dan sekitar hutan mendapatkan manfaat ekonomi dari kearifan-kearifan lokal yang mereka yakini dan wariskan secara turun temurun.
Salah satu budidaya yang sangat proesfektf dikembangkan oleh masyarakat adalah Budidaya Gaharu (Aquilaria malaccensis).
Yuk, kita mengenal Gaharu/engkaras....
PENDAHULUAN
Gaharu mulai dikenal
masyarakat Indonesia pada sekitar tahun 1200 yang ditunjukan oleh adanya
perdagangan dalam bentuk tukar menukar (barter)
antara masyarakat Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat dengan para pedagang
dari daratan China, Kwang Tung. Masyarakat memperoleh gaharu sebagai hasil
pungut dari hutan alam dengan memanfaatkan pohon-pohon yang telah mati alami
dengan bentuk produk berupa gumpalan, serpihan serta bubukan. Sebagai salah
satu komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), gaharu semula memiliki nilai guna
yang terbatas hanya untuk mengharumkan tubuh, ruangan dan kelengkapan upacara
ritual keagamaan masyarakat Hindu dan Islam. Sejalan dengan perkembangan ilmu
dan teknologi industri kimia serta farmasi serta didukung berkembangnya
paradigma dunia kedokteran dan pengobatan untuk kembali memanfaatkan bahan
tumbuhan alami (back to nature), produk
gaharu selain dibutuhkan sebagai bahan industri parfum dan kosmetika, juga
dibutuhkan sebagai bahan obat herbal, untuk pengobatan stress, asma, rheumatik,
radang ginjal dan lambung, bahan anti biotik TBC, serta tumor dan kanker.
Indonesia merupakan negara produsen gaharu
terbesar di dunia, hingga akhir tahun 1990 mampu menghasilkan lebih dari 600
ton per tahun, sejak tahun 2000 produksi terus menurun dan dengan kuota sekitar
300 ton/th hanya mampu terpenuhi antara 10 - 15 %, bahkan sejak tahun 2004
dengan kuota 50 – 150 ton/th, tidak tercatat adanya data ekspor gaharu dari
Indonesia.
Berkembangnya nilai guna
gaharu, mendorong minat negara-negara industri untuk memperoleh gaharu dengan
harga jual yang semakin meningkat. Tingginya harga jual mendorong upaya
masyarakat merubah pola produksi dengan cara menebang pohon hidup dan mencacah batang untuk
memperoleh bagian kayu yang telah bergaharu. Upaya tersebut telah mengancam
kelestarian sumberdaya pohon penghasil di berbagai wilayah sebaran tumbuh.
Dalam upaya melindungi dari kepunahan sumberdaya pohon penghasil, komisi CITES
(Convention on International in Trade
Endangered Species of Fauna and Flora) sejak tahun 2004 telah menetapkan
larangan dan atau pembatasan pemungutan gaharu alam dari genus Aquilaria spp dan Gyrinops sp dengan memasukan ke dua genus tersebut dalam daftar
tumbuhan Appendix II CITES.
Maka dalam mendukung
upaya konservasi dan membina kelestarian produksi, serta upaya mengantisipasi
perkembangan permintaan pasar dalam meningkatkan nilai guna, sehingga
pembatasan dan larangan perdagangan gaharu dari genus Aquilaria spp dan Gyrinops
sp dapat dicabut, alternatif produksi gaharu
perlu bersumber dari hasil pembudidayaan.
Secara teknis pembudidayaan
terhadap jenis-jenis pohon penghasil gaharu berkualitas dan bernilai komersial
tinggi, sesuai sifat fisiologis pohon,
ideal dikembangkan di berbagai wilayah endemik sesuai daerah sebaran
tumbuh, selain itu dimungkinkan pula dapat diintroduksikan pada berbagai
lahan-lahan atau yang memiliki kesesuaian tumbuh. Berkembangnya pembudidayaan
diharapkan selain dapat berperan dalam melestarikan plasma nutfah, juga
sekaligus dapat terbina upaya kelestarian produksi gaharu yang bernilai
konstruktif dalam revitalisasi sektor kehutanan dalam membina perolehan
pendapatan masyarakat serta devisa negara.
TINJAUAN UMUM
Secara botanis tumbuhan penghasil gaharu
memiliki susunan tata nama, (taxonomi)
dengan Regnum : Plantae , Divisio : Spermatophyta (berbunga), Sub-Divisio : Angiospermae (berbiji tertutup), Class : Dycotyledon (berkeping dua) Sub-Class : Archichlamydae, memiliki tiga (3) famili
yakni Thymeleaceae, Euphorbiaceae dan Leguminoceae dengan delapan (8) genus
yaitu Aquilaria, Aetoxylon, Dalbergia,
Enkleia, Excoccaria, Gonystylus, Gyrinops dan Wiekstroemia. Di Indonesia untuk sementara diketahui terdapat 27
jenis yang memiliki bentukan hidup berupa pohon, semak, perdu dan atau sebagai
tumbuhan merambat (liana) (Table 1)
Tabel 1 :
Potensi jenis dan dugaan sebaran tumbuh pohon penghasil gaharu di
Indonesia
No
|
Nama Botanis
|
Famili
|
Daerah Penyebaran
|
1.
|
Aquilaria malacensis
|
Thymeleaceae
|
Sumatera,
Kalimantan
|
2.
|
A. hirta
|
Thymeleaceae
|
Sumatera.
Kalimantan ( ? )
|
3.
|
A. fillaria
|
Thymeleaceae
|
Nusa
Tenggara, Maluku, Irja.
|
4.
|
A. microcarpa
|
Thymeleaceae
|
Sumatera,
Kalimantan (?)
|
5.
|
A. agalloccha
|
Thymeleaceae
|
Sumatera,
Jawa, Kalimantan
|
6.
|
A. beccariana
|
Thymeleaceae
|
Sumatera,
Kalimantan (?)
|
7.
|
A. secundana
|
Thymeleaceae
|
Maluku,
Irian Jaya
|
8.
|
A. moszkowskii
|
Thymeleaceae
|
Sumatera
|
9.
|
A. tomentosa
|
Thymeleaceae
|
Irian
Jaya
|
10.
|
Aetoxylon sympethalum
|
Thymeleaceae
|
Kalimantan, Irja, Maluku.
|
11.
|
Enkleia malacensis
|
Thymeleaceae
|
Irian
Jaya, Maluku
|
12.
|
Wikstroemia poliantha
|
Thymeleaceae
|
Nusa
Tenggara, Irja.
|
13.
|
W. tenuriamis
|
Thymeleaceae
|
Sumatera,Bangka,
Kalimantan
|
14.
|
W. androsaemofilia
|
Thymeleaceae
|
Kalimantan,NTT,Irja,
Sulawesi.
|
15.
|
Gonystylus bancanus
|
Thymeleaceae
|
Bangka,
Sumatera, Kalimantan
|
16.
|
G. macrophyllus
|
Thymeleaceae
|
Kalimantan, Sumatera.
|
17.
|
Gyrinops cumingiana
|
Thymeleaceae
|
Nusa
Tenggara, Sulawesi, Irja.
|
18.
|
G. rosbergii
|
Thymeleceae
|
Sulawesi, Nusa Tenggara
|
19.
|
G. versteegii
|
Thymeleaceae
|
Maluku,
NTT, NTB.
|
20.
|
G. moluccana
|
Thymeleaceae
|
Maluku,
Halmahera
|
21.
|
G. decipiens
|
Thymeleaceae
|
Sulawesi, Maluku, Irja,
|
22.
|
G. ledermanii
|
Thymeleaceae
|
Irian
Jaya
|
23.
|
G. salicifolia
|
Thymeleaceae
|
Irian
Jaya
|
24.
|
G. audate
|
Thymeleaceae
|
Irian
Jaya
|
25.
|
G. podocarpus
|
Thymeleaceae
|
Irian
Jaya
|
26.
|
Dalbergia farviflora
|
Leguminoceae
|
Sumatera,
Kalimatan.
|
27.
|
Exccocaria agaloccha
|
Euphorbiaceae
|
Jawa,
Kalimantan, Sumatera (?)
|
Sidiyasa
dan Suharti ( 1987) ; Sumarna ( 1998 ) ; Anonimous ( 2004) (Data diolah).
Daerah sebaran tumbuh pohon penghasil gaharu
di Indonesia dijumpai di wilayah hutan Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya dan Nusa Tenggara. Secara
ekologis berada pada ketinggian 0 – 2400 m.dpl, pada daerah beriklim panas
dengan suhu antara 28º – 34°C, berkelembaban sekitar 80 % dan bercurah hujan antara 1000 – 2000 mm/th. Lahan
tempat tumbuh pada berbagai variasi kondisi struktur dan tekstur tanah, baik
pada lahan subur, sedang hingga lahan marginal. Gaharu dapat dijumpai pada ekosistem
hutan rawa, gambut, hutan dataran rendah atau hutan pegunungan, bahkan dijumpai
pada lahan berpasir berbatu yang ekstrim.
Beberapa sifat biofisiologis tumbuh pohon penghasil
gaharu yang penting untuk diperhatikan adalah faktor sifat fisiologis
pertumbuhan, sebagian besar pohon pada
fase pertumbuhan awal (vegetatif)
memiliki sifat tidak tahan akan
intensitas cahaya langsung (semitoleran)
hingga berumur 2 - 3 tahun. Faktor lain sifat fenologis pembungaan dimana
setiap jenis, selain dipengaruhi oleh kondisi iklim dan musim setempat juga
akan dipengaruhi oleh kondisi edafis lahan tempat tumbuh. Sifat fenologis
buah/benih yang rekalsitran, badan buah pecah dan tidak jatuh bersamaan dengan
benih. Sifat fisiologis benih memiliki masa istirahat (dormansi) yang sangat rendah, benih-benih yang jatuh di bawah tajuk
pohon induk pada kondisi optimal setelah 3 – 4 bulan akan tumbuh dan
menghasilkan permudaan alam tingkat semai yang tinggi dan setelah 6 – 8 bulan
akan terjadi persaingan, sehingga populasi anakan tingkat semai akan menurun
hingga 60 – 70 %. Aspek pertumbuhan permudaan alam tingkat semai penting
diketahui sebagai dasar dalam penyediaan bibit tanaman dengan cara memanfaatkan
cabutan permudaan alam.
Beberapa ciri morfologis, sifat fisik, sebaran tumbuh serta nama daerah
jenis pohon penghasil gaharu di Indonesia sebagai berikut :
Aquilaria spp.
Pohon
dengan tinggi batang yang dapat mencapai antara 35 – 40 m, berdiameter sekitar
60 cm, kulit batang licin berwarna putih atau keputih-putihan dan berkayu
keras. Daun lonjong memanjang dengan ukuran panjang 5 – 8 cm dan lebar 3 – 4
cm, ujung daun runcing, warna daun hijau mengkilat. Bunga berada diujung
ranting atau diketiak atas dan bawah daun. Buah berada dalam polongan berbentuk
bulat telur aatau lonjong berukuran sekitar 5 cm panjang dan 3 cm lebar.
Biji/benih berbentuk bulat atau bulat telur yang tertutup bulu-bulu halus
berwarna kemerahan.
Jenis A. malaccensis di wilayah
potensial dapat mencapai tinggi pohon sekitar 40 m dan diameter 80 cm, beberapa
nama daerah seperti : ahir, karas, gaharu,garu, halim, kereh, mengkaras dan seringak. Tumbuh pada ketinggian hingga
750 m dpl pada hutan dataran rendah dan pegunungan, pada daerah yang beriklim panas dengan suhu
rata-rata 32 ° C dan kelembaban sekitar 70 %, dengan
curah hujan kurang dari 2000 mm/tahun. Jenis A. microcarpa tinggi sekitar 35 m berdiameter sekitar 70 cm dengan
nama daerah tengkaras, engkaras, karas, garu tulang dll. Sedangkan A. filaria tinggi pohon antara 15 – 18 m
berdiameter sekitar 50 cm, di Irian Jaya memiliki nama daerah age dan di Maluku
las. Tumbuh di hutan dataran rendah, rawa hingga ketinggian sekitar 150 m, pada
kawasan beriklim kering bercurah hujan sekitar 1000 mm/th. A. beccariana, memiliki nama daerah mengkaras, gaharu dan gumbil
nyabak. Tumbuh hingga ketinggian 850 m.dpl pada kondisi kawasan beriklim kering
dengan curah hujan sekitar 1500 mm/th.
Gyrinops spp.
Tumbuhan gaharu jenis ini berbentuk sebagai pohon
yang memiliki ciri dan sifat
morfologis yang relatif hampir sama
dengan kelompok anggota famili Thymeleacae lainnya. Daun lonjong memanjang,
hijau tua, tepi daun merata, ujung meruncing, panjang sekitar 8 cm, lebar 5 – 6
cm. Buah berwarna kuning- kemerahan dengan bentuk lonjong. Batang
abu-kecoklatan, banyak cabang, tinggi pohon dapat mencapai 30 m dan berdiameter
sekitar 50 cm. Daerah sebaran tumbuh di wilayah Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara
dan potensi terbesar berada di Irian Jaya (Papua)
Aetoxylon spp,
pohon
dengan rataan tinggi sekitar 15 m, berdiameter antara 25 – 75 cm, kulit batang
ke abu-abuan atau kehitam-hitaman dan bergetah putih. Bentuk daun bulat telur,
lonjong, licin dan mengkilap dan bertanggkai daun sekitar 8 mm. Bunga dalam
kelompok berjumlah antara 5 – 6 bunga, berbentuk seperti payung, dengan panjang
tangkai bunga sekitar 9 mm, bentuk bunga membulat atau bersegi lima berdiameter
sekitar 4 mm, buah membulat panjang sekitar 3 cm dan lebar 2 cm, serta tebal 1 cm.Tumbuh
pada kawasan hutan dataran rendah dengan lahan kering berpasir, beriklim sedang
dengan curah hujan sekitar 1400 mm/th, bersuhu sekitar 27 ° C dan berkelembaban sekitar 80 %. Gaharu
dari jenis ini memiliki nama daerah sebagai kayu biduroh, laka, garu laka, garu
buaya dan pelabayan.
Gonystylus spp, memiliki ciri dan sifat morfologis dengan tinggi
dapat mencapai 45 m dan berdiameter antara 30 – 120 cm, memiliki tajuk tipis, dan
berakar napas (rawa), Bedaun
tunggal, berbentuk bulat telur, panjang 4 – 15 cm, lebar 2 – 7 cm dengan ujung
runcing, bertangkai daun 8 – 18 mm, licin dengan warna hijau-kehitaman. Bunga
berbentuk malai berlapis dua, muncul diujung ranting atau ketiak daun, berwarna
kuning, tangkai bunga panjang sekitar 1,5 cm. Berbuah keras, berbentuk bulat
telur dengan ujung meruncing, memiliki 3 ruang, panjang 4 – 5 cm, lebar 3 – 4
cm, benih berwarna hitam. Gaharu dari jenis ini umumnya terbentuk pada bekas
taksis duduk cabang, sehingga bentuk gaharu terbentuk umumnya berbentuk bulatan-bulatan.
Nama daerah gaharu dari kelompok jenis ini adalah : karas, mengkaras, garu,
halim,
alim, ketimunan, pinangbae, nio, garu buaya, garu pinang, bal, garu
hideung, bunta, mengenrai, udi makiri, sirantih dll.
Enkleia spp, tumbuhan penghasil gaharu dari kelompok jenis ini berbentuk tumbuhan
memanjat (liana) dengan panjang
mencapai 30 m berdiameter sekitar 10 cm, batang kemerah-merahan, beranting dan
memiliki alat pengait. Bunga berada diujung ranting, bertangkai bunga dengan
panjang mencapai 30 cm, bunga berwarna putih atau kekuningan, Buah bulat-telur,
panjang 1,25 cm dan lebar 0,5 cm. Dikenal dengan nama daerah tirap akar, akar
dian dan akar hitam, garu cempaka, garu pinang, ki laba, medang karan, mengenrai,
udi makiri, garu buaya, bunta dll.
Wiekstroemia spp. Pohon berbentuk semak dengan tinggi mencapai
sekitar 7 m dan diameter sekitar 7,5 cm, ranting kemerah-merahan atau
kecoklatan. Daun bulat telur, atau
elips/lancet, panjang 4 – 12 cm dan lebar 4 cm. Helai daun tipis, licin di dua
permukaan, bertangkai daun panjang 3 cm. Bunga berada diujung ranting atau
ketiak daun, berbentuk malai dan tiap malai menghasilkan 6 bunga dengan warna
kuning, putih kehijauan atau putih, dengan tangkai bunga sekitar 1 mm, mahkota
bunga lonjong atau bulat telur dengan panjang 8 mm dan lebar 5 mm berwarna
merah. Kelompok gaharu dari jenis-jenis ini dikenal memiliki nama daerah, layak
dan pohon pelanduk, kayu linggu, menameng atau terentak.
Dalbergia sp. sementara hanya ditemukan 1 jenis yakni D. parvifolia sebagai salah satu dari
anggota famili Leguminoceae merupakan tumbuhan memanjat (liana) dan produk gaharunya kurang disukai pasar.
Excoccaria sp genus ini hanya ditemukan 1 jenis yakni E. agaloccha
yang merupakan anggota famili Euphorbiacae tergolong tumbuhan tinggi dengan
tinggi pohon antara 10 – 20 m dan dapat mencapai kelas diameter sekitar 40 cm.
Produksi gaharunya kurang disukai pasar.
TEKNIK BUDIDAYA
Beberapa aspek teknis dalam
mengembangkan budidaya pohon penghasil gaharu, meliputi kegiatan sebagai
berikut :
1. Pemilihan dan
Pemolaan Lahan Tanam.
a. Pemilihan Lahan
Sesuai sifat biofisiologis pertumbuhan
tanaman penghasil gaharu yang bersifat semitoleran terhadap cahaya matahari
langsung pada fase pertumbuhan vegetatif hingga umur antara 2 – 3 tahun, maka
lahan tanam harus terpilih memiliki kondisi tersedianya naungan dengan cahaya
masuk sekitar 60 – 70 %. Beberapa alternatif lahan budidaya untuk tanaman
penghsil gaharu adalah :
a.1.
Hutan Produksi
Pada lahan hutan produksi bekas tebangan
(LOA) pada fase Et + 2/3 tahun, pohon gaharu dapat dibina sebagai tanaman
perkayaan dengan populasi disesuaikan dengan kondisi lahan. Populasi pohon
penghasil gaharu ditanamkan sesuai tingkat dan kondisi kerusakan areal tebang
sesuai RKT tahunan.
a.2.
Hutan Tanaman Industri (HTI)
Pada lahan HTI kayu
pertukangan dengan daur tebang ± 20 tahun. Pohon HTI setelah 5 tahun tanam,
ditanamkan pohon gaharu pada selang jarak tanam HTI yang dibina, pohon
penghasil gaharu dapat dibina dalam kapasitas 250 – 300 batang/Ha yang
dikemudian hari dapat menjadi sumber pendapatan tambahan.
a.3.
Hutan Rakyat (HR)
Pada lahan hutan rakyat dapat
dibina pohon penghasil gaharu sebagai tanaman tepi atau tanaman sisipan diantara
berbagai jenis tanaman hutan rakyat ( kayu, tanaman buah-buahan dll). Kapasitas
pohon penghasil gaharu dapat dipola sesuai kondisi pohon hutan rakyat yang
dibina.
a.4.
Lahan Tanaman Perkebunan.
Pada lahan pertanaman jenis
karet atau pada kebun kelapa dan atau tanaman sawit pada selang jarak tanaman
pokok, pohon penghasil gaharu dapat dikembangkan pada kondisi pohon inti telah
berperan sebagai naungan. Kapasitas pohon penghasil gaharu dapat dipola antara
200 – 250 batang per hektar.
b.
Pemolaan
Lahan.
Dalam pemolaan lahan tanam akan meliputi
jenis kegiatan pelaksanaan lapang berupa :
b.1. Penataan Batas.
Lahan tanam tertata batas sesuai luasan
areal yang akan ditanamkan pohon penghasil gaharu. Luasan areal merupakan tatanan teknis yang erat
hubungannya dengan jumlah populasi pohon per hektar dan juga erat hubungannya
dengan aspek ketenagaan, penentuan ketersediaan bahan dan perlengkapan serta
pendanaan.
b.2. Pemolaan Lahan Tanam.
Idealnya lahan tanam pada satuan luas
lahan budidaya telah dan atau tersedia jenis-jenis tumbuhan lain yang dapat
berperan sebagai naungan sementara, sehingga ideal sistem penanaman ditetapkan
dengan jalur atau sistem cemplongan. Jenis kegiatan dalam pemolaan lahan akan
meliputi :
(1) Pembuatan Pola Tanam
-
Sistem Jalur
Pola tanam dengan jalur dilakukan dengan
membuka lahan pada lebar antara 1 – 2
meter dan antar jalur dapat dipola sesuai rancangan jarak tanam (3 m/5 m). Dalam jalur dengan bantuan ajir ditetapkan
jarak tanam (3 m/5 m).
-
Sistem Cemplongan
Pola tanam dengan sistem cemplongan
secara teknis dapat langsung ditentukan rencana jarak tanam yang akan
digunakan. Pada satuan luas budidaya dengan bantuan ajir ditetapkan jarak tanam
(3 m x 3 m, 3 m x 5 m, atau 5 m x 5 m).
(2) Pembuatan lubang tanam.
Pada setiap ajir sesuai jarak
tanam yang ditetapkan, dibuat lubang tanam berukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm/40
cm, tanah galian pisahkan antara bagian atas (top soil) dan bagian bawahnya.
(3) Pemupukan
Sesuai kondisi lahan, idealnya
pada setiap lubang tanam terbuat dalam kisaran waktu sekitar 1 bulan sebelum
hari H tanam, diberikan pupuk dasar berupa kompos organik ( 1 – 2 kg/lubang)
dan untuk merangsang pertumbuhan akar, berikan TSP sekitar 20 – 25 gram/lubang
tanam.
2. Penanaman.
a.
Waktu
Tanam
Proses pelaksanaan penanaman ditentukan ideal dilaksanakan pada awal
periode musim hujan dengan asumsi agar penyulaman bibit per satuan luas dapat
ditekan kurang dari 10 %.
b.
Teknis penanaman.
b.1. Pengangkutan bibit
Bibit tanaman gaharu sekitar 1 –
2 bulan sebelum waktu tanam ideal telah diangkut ke lapangan, sebagai upaya
penyesuaian pohon dengan kondisi lingkungan (aklimatisasi). Sekitar 1 minggu sebelum tanam bibit sudah
ditempatkan pada setiap lubang tanam.
b.2.
Penanaman
Pelaksanaan tanam dimulai dengan
teknis pengepalan media pada bibit, lepaskan polybag dan langsung tanamankan
bibi dengan pangkal batang sejajar permukaan tanah, timbun dengan tanah
permukaan dan padatkan. Letakan ajir melintang batang untuk menahan dan membuat
batang tetap tegak dan bekas polybag letakan diujung ajir, sebagai tanda lubang
tanam telah terisi oleh bibit.
3. Pemeliharaan
Sesuai sifat biologis pohon penghasil
gaharu, serta upaya membangun riap tumbuh tanaman yang optimal mencapai kondisi
siap diproduksi, lakukan pemeliharaan secara intensif hingan tanaman berumur
sekitar 6 tahun. Jenis
kegiartan pemeliharaan terdiri dari :
a.
Penyiangan
Lakukan kegiatan penyiangan berbagai
jenis gulma yang tumbuh di sekitar tanaman, sebagai upaya menurunkan tingkat
kompetisi persaingan penggunaan hara lahan. Laksanakan minimal 3 – 4 kali per
tahun.
b.
Pembumbunan.
Pasca penyiangan dalam radius sekitar 1 meter,
tanah sekitar tanaman gaharu digemburkan, sebagai upaya peningkatan oksidasi
(pertukaran oksigen) dalam mempermudah penyerapan hara. Laksanakan 3 - 4 kali
per tahun.
c.
Pemupukan.
Perlakauan pemupukan dapat diberikan pupuk organik (kompos) dengan dosis
sekitar 1 kg/pohon dan atau diberikan pupuk kimia dari jenis NPK dengan dosis
sesuai perkembangan umur tanaman : 1 tahun 50 gram, 2 tahun 75 – 100 gram, 3 –
5 tahun sekitar 100 – 200 gram/pohon. Pemupukan dapat dilakukan interval antara
3 – 4 bulan.
d.
Proteksi Gangguan Biologis
Dalam upaya menangkal kemungkinan terjadinya
serangan hama atau penyakit lakukan kegiatan proteksi tanaman dengan kegiatan :
d.1.
Hama
Untuk
menangkal gangguan hama berupa ulat daun (Lepidoptera
sp) dan belalang yang sering mengganggu pertanaman, pada interval 3/4 bulan,
lakukan proteksi gangguan dengan pemberian pestisida sistemik yang dapat
diberikan bersamaan dengan pemupukan.
d.2. Penyakit
Penyakit yang perlu diwaspadai adalah
jamur atau bakteri yang menyerang perakaran. Untuk memproteksi gangguan
penyakit tersebut, lakukan perbaikan drainase pada sekitar tanaman dan usahakan
pada lingkungan tanaman tidak tejadi adanya genangan air yang mengundang
berkembangnya jamur/bakteri penyakit
SUMBER PUSTAKA
Anonimous, 1998. Pasar kayu
gaharu di dalam dan luar negeri. Prosiding Lokakarya Pengembangan Tanaman
Gaharu, Ditjen RLPS, DEPHUT, Jakarta.
Anonimous,
2004. Tata niaga perdagangan gaharu Indonesia, Prosiding Renstra Gaharu, Ditjen
RLPS, Dephut, Jakarta.
Asgarin,
2002. Beberapa masalah dan kendala pengusahaan kayu gaharu, Prosiding Lokakarya
Pengembangan Tanaman Gaharu, RLPS, DEPHUT, Jakarta.
Biro KLN dan
Investasi, 2002. Gaharu, Menjual Kayu
dalam Gram, Setjen DEPHUT, Jakarta.
Biro KLN dan
Investasi, 2003. Strategi Generik Pengembangan Komoditas Gaharu, Setjen DEPHUT, Jakarta.
Fitter.
A. H. dan R. K. M. Hay, 1992. Fisiologi
Lingkungan Tanaman, Gajahmada University Press, Yogyakarta.
Gun,
B & P. Steven, M. Singadan, L.Sunari, P. Chatterton, 2003. Eaglewood in
Papua New Guinea, Tropical Rain Forest Project, Working Paper No. 51. Viatnam.
Kramer, P. J
dan T. T. Kozlowski, 1979. Physiology of Woody Plant, Academic
Press INC, London.
Larcher, W. 1975. Physiological Plant Ecology,
Springer-Verlag, Heidelberg,
New York.
Parman dan T. Mulayaningsih, 2002. Teknologi Pembudidayaan Tanaman Gaharu,
Prosiding Lokakarya Pengembangan Tanaman Gaharu, RLPS Dephut, Jakarta.
Santoso, E. 1986 Pembentukan gaharu dengan cara inokulasi . Prosiding
Diskusi Hasil Penelitian Menunjang Pemafaatan Hutan Lestari, P3H& KA, Bogor.
Sidiyasa, K dan S. Suharti, 1998. Potensi jenis
pohon penghasil gaharu, Prosiding Lokakarya Pengembangan Tanaman Gaharu, RLPS
Dephut, Jakarta.
Sumarna,
Y. 2002. Budidaya Gaharu, Seri Agribisnis, Penebar Swadaya, Jakarta.
Sumarna, Y. 2007. Budidaya dan Rekayasa Produksi Gaharu. Prosiding Gelar
Teknologi Pemanfaatan IPTEK untuk Kesejahteraan Masyarakat, Purworejo.
BUDIDAYA POHON PENGHASIL GAHARU
Oleh :
PITRIYADI,
S.HUT
PEMERINTAH
KABUPATEN KETAPANG
DINAS
KEHUTANAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar