Saat
ini, sangat langka sekali kita jumpai
pejabat negara serta tokoh-tokoh di republic ini yang menjadikan dirinya
keteladanan masyarakat dan bangsa ini. Semoga kisah-kisah teladan di bawah ini
menjadi “cermin” bagi kita semua untuk lebih bersikap sederhana dalam aspek
kehidupan ini
Bung Karno dan Bung Hatta Founding Father |
BUNG HATTA
Di Indonesia, keteladanan sering diperlihatkan Pemimpin besar. Tidak mungkin
memisahkan dari sikap kesederhanaan dan keteladanan oleh M. Hatta. Salah satu
kisah mengugah dari Bung Hatta yang paling dikenang tentang sepatu Bally. Pada
tahun 1950-an, Bally adalah merek sepatu bermutu tinggi yang berharga mahal.
Bung Hatta, ketika masih menjabat sebagai wakil presiden, berniat membelinya.
Untuk itulah, maka dia menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya.
Setelah itu, dia pun berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman
tersebut. Namun, apa yang terjadi? Ternyata uang tabungan tidak pernah
mencukupi untuk membeli sepatu Bally. Ini tak lain karena uangnya selalu
terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu orang-orang yang datang
kepadanya guna meminta pertolongan. Keinginan Bung Hatta untuk membeli sepasang
sepatu Bally tak pernah kesampaian. Bahkan, yang lebih mengharukan, ternyata
hingga wafat, guntingan iklan sepatu Ball tersebut masih tersimpan dengan baik.
Barang lain yang juga tak mampu dibelinya adalah mesin jahit yang juga sudah
lama didambakan sang istri.
Selain itu juga
setelah pengunduran diri wakil Presiden, hidup M. Hatta semakin keuangan
keluarga Bung Hatta memang sangat kritis. Sampai-sampai, pernah suatu saat Bung
Hatta kaget melihat tagihan listrik, gas, air, dan telepon yang harus
dibayarnya, karena mencekik leher. Cerita ini kemudian sampai ke Ali Sadikin
(Gubernur DKI Jakarta). Ali Sadikin seorang Gubernur DKI kala itu harus
membantu beliau untuk melunasi tunggakan beban listrik dan PBB karena selepas
menjabat, saldo tabungan bung Hatta tinggal Rp. 200,-
Tulisan dan pikiran Hatta mewarnai pasal 33 UUD 1945.
Bung Hatta dan Rahmi Hatta |
Bung Hatta adalah pendiri
Republik Indonesia, negarawan tulen, dan seorang ekonom yang handal. Di balik
semua itu, ia juga adalah sosok yang rendah hati. Sifat kesederhanaannya pun
dikenal sepanjang masa.
Bung Hatta
wafat pada tanggal 14 Maret 1980 dan dimakamkan di tengah-tengah rakyat, di
Pemakaman Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Musisi Iwan Fals mengabadikan
kepribadian Bung Hatta itu dalam sebuah lagu berjudul "Bung Hatta".
Terbayang baktimu, terbayang jasamu
Terbayang jelas jiwa sederhanamu
Bernisan bangga, berkapal doa
Dari kami yang merindukan orang
Sepertimu .....
Terbayang baktimu, terbayang jasamu
Terbayang jelas jiwa sederhanamu
Bernisan bangga, berkapal doa
Dari kami yang merindukan orang
Sepertimu .....
H. AGUS SALIM
KH Agus Salim sangat sederhana, tegas,
cerdas, nasionalis sejati dan menyayangi keluarganya. Sebagai orang yang
pertama kali memperkenalkan istilah KEPANDUAN, ia terlatih untuk mengedepankan
kesederhanaan dalam kehidupannya.
KH. Agus Salim
rela berjualan minyak tanah, sekadar memenuhi kebutuhan hidupnya. Tanpa rasa malu ia menjualnya dengan cara mengecer, meski
pada saat itu dia sudah pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan
perwakilan tetap Indonesia di PBB. Bahkan saat ada acara di Jogyakarta, KH.Agus
Salim terpaksa membawa minyak tanah dan menjualnya disana. Hasil penjualan
minyak tanah itu dipergunakan untuk menutupi ongkos perjalanan
Jakarta-yogyakarta.
Cerita ini
seakan-akan melengkapi saat menjadi Menteri Luar Negeri, sering pake singlet
tanpa baju karena kepanasan. Agus Salim menggunakan baju setelah datang
diplomat atau Menteri Luar Negeri lainnya. Setelah tamu itu pulang, Agus Salim kembali
membuka baju dan menggunakan singletnya kembali. Dengan santai dia berkata
”Bisa dipakai untuk besok”.
Kiprah
perjuangan “the grand old man” –julukan Soekarno terhadap Agus Salim– tidak
hanya sebatas pendirian Indonesia. Pada beberapa kabinet, Agus Salim selalu
menduduki peran sebagai menteri luar negeri. Posisinya itu menjadikan ia sering
bertemu dan terlibat perdebatan alot dengan para diplomat Kerajaan Belanda.
Salah satu diplomat itu adalah Prof. Schermerhon.
Sebagai
seorang “musuh” Schermerhon memiliki kesan yang mendalam terhadap Agus Salim.
Dalam Het dagboek van Schermerhoon (Buku Harian dari Schermerhoon), ia
menggambarkan Agus Salim: “Orang tua yang sangat pandai ini adalah seorang yang
jenius. Ia mampu bicara dan menulis secara sempurna sedikitnya dalam 9 bahasa.
Kelemahannya hanya satu: ia hidup melarat.”
Tegas
sebagai politisi, tapi sederhana dalam sikap dan keseharian. Dia
berpindah-pindah rumah kontrakan ketika di Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta.
Di rumah sederhana itulah dia menjadi pendidik bagi anak-anaknya, kecuali si
bungsu, bukan memasukkannya ke pendidikan formal. Alasannya, selama hidupnya
Agus Salim mendapat segalanya dari luar sekolah. ”Saya telah melalui jalan
berlumpur akibat pendidikan kolonial,” ujarnya tentang penolakannya terhadap
pendidikan formal kolonial yang juga sebagai bentuk pembangkangannya terhadap
kekuasaan Belanda. Agus Salim wafat pada 4 November 1954 dalam usia 70 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar