Minggu, 27 Mei 2012

HYMNE GURU DAN IRONI PENCIPTANYA




HYMNE GURU DAN IRONI PENCIPTANYA


Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Cip. Sartono

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu

Engkau sabagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa


Rasanya tidak ada murid-murid dari SD, SMP/MTs, SMA/SMK/MA yang tidak tahu atau tidak pernah menyanyikan  Hymne Guru. Pasti semua pernah. Murid pintar, kurang pintar, murid penurut, rajin, murid badung dan tukang onar sekalipun, pasti dengan semangat menyanyikan lagu ini. Maklum, ini lagu Wajib Nasional Men !!!

Lagu ini, juga sering kami nyanyikan bersama-sama di SDN 10  Kampung Kantor Kecamatan Matan Hilir Utara Ketapang Kalimantan Barat  (sekarang Kec. Delta Pawan). Perpisahan waktu kelas III di SMP Negeri I Ketapang  tahun 1991, lagu ini menjadi sangat Hits. sekali.  Saat Pelepasan siswa/siswi kelas III di SMA Negeri I Ketapang tahun 1993, lagu ini lagi-lagi sangat diminati hehehe.. Biasanya diakhiri dengan  tadisi cium tangan dan pelukan antara murid dan guru, melowww ya

Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei setiap tahunnya, lagu ini dinyanyikan semua murid SD/SMP/SMA  sebagai wujud tanggungjawab terhadap nusa, bangsa dan Negara.
Hingga tamat kuliah, tahun 1998, Ane belum tau juga "siapa" pengarang/pencipta lagu Inspiratif tersebut.

Ternyata, lagu penuh makna dan sarat pesan-pesan moral tersebut ditulis oleh seorang Guru Swasta, honorer yang bernama SARTONO yang dilahirkan di Madiun pada 29 Mei 1936. Melalui tinta emasnya, lagu Hymne Guru ini begitu menginspirasi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia untuk menempatkan dan memuliakan guru sebagai pencerah bangsa ini.
Malang nian nasib pak Sartono, disaat sebagian besar guru semakin meningkat kesejahteraannya bahkan ditunjang dengan dana sertifikasi, ia yang mengajar musik di SMP Purna Karya Bhakti Madiun atau SMP Kristen Santo Bernadus, dari  tahun 1978, hingga “pensiun” pada 2002 lalu, Sartono tetap menyandang guru honorer. Ia tak punya gaji pensiunan, karena statusnya bukan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Untuk menambah dan "menambal" periuk dapurnya , Sartono mengajar musik. Sepekan sekali, Sartono yang pandai bermain piano, gitar, dan saksofon, ini rutin mengajar kulintang di Perhutani Nganjuk, sekira 60 kilometer dari rumahnya di Madiun.
Beruntung, istrinya Ignasia Darmiyati, masih mendapatkan dana pensiun 1 jutaan dari pekerjaannya dulu sebagai Guru SDN. Seniman kampung yang beragama ISLAM ini kini tinggal di Jl Halmahera Madiun, Jatim tanpa anak, hanya didampingi 2 orang keponakannya. 

Pak Sartono, yang udah mulai kurang daya ingatnya ini, tidak pernah mendapatkan Royalti dari lagu “wajib” Departemen Pendidikan ini.Berkali-kali ia dijanjikan, namun hingga kini ia tidak pernah menerimanya.
“ Uang dan penghargaan bukan tujuan saya. Saya ikhlas menciptakan lagu tersebut. Saya cukup senang lagu tersebut terkenal,” ujarnya suatu ketika. Ia tidak pernah mengharapkan imbal jasa, balas budi atau pamrih dari pihak manapun. Sebuah prinsip yang patut dibanggakan. Langka untuk saat ini.
Lagu Pahlawan Tanpa tanda jasa  tersebut, diciptakannya pada era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef.
Sartono bercerita, tahun 1980 waktu naik bus ke Madiun ia membaca  Koran yang memuat  pengumuman lomba cipta lagu hymne guru. Sebagai seniman, dia tergelitik mengikuti. ’’Setiba di rumah, sambil rengeng-rengeng, bahkan sambil singsot (bersiul), dia menggubah nada dan menulis lagu itu. 

Namun, ketika akan membuat lirik lagu, inspirasinya mandek. Saat itulah Darmiyati yang baru pulang dari Madura, karena pindah tugas sebagai guru di Madiun, bercerita soal nasib temannya sesama guru.
’’Di luar dugaan, justru cerita saya itu menjadi inspirasi Bapak menulis lirik. Bahkan, tidak lama kemudian lirik lagu itu jadi, dan dicoba dinyanyikan. Akhirnya setelah merasa pas, lagu itu dikirimkan ke Panitia Lomba Cipta Lagu.’’ Ujar Istri Sartono
Sartono masih ingat, dia menjual jas untuk datang langsung langsung ke Jakarta, meski sebetulnya bisa saja dikumpulkan lewat Kantor Dinas P dan K di Madiun.
Di luar dugaan, lagunya menang dengan menyisihkan 200 peserta dari seluruh Indonesia. Seleksi dimulai dari 200 diambil 100, kemudian diseleksi lagi menjadi tinggal 50, susut lagi 25, susut lagi 10, kemudian dipilih lima, akhirnya tinggal tiga. ’’Satu lagu saya, dua lainnya kiriman dari Manado dan Bogor. 


Oleh panitia tidak dipilih juara I, namun peringkatnya lagu karya saya teratas. Jadilah saya pemenang lomba lagu Hymne Guru. Salah satu kelebihannya, karena ditulis dengan not balok dan not angka sekaligus,’’ tuturnya. Hadiahnya besar untuk saat itu, Rp 750.000, ujarnya dengan bangga.

Pitriyadi "mengajar" di SMA  Muhamadiah Ktp


PENGHARGAAN BUAT SARTONO
Setelah media massa dan elektonik mengangkat kehidupan Sartono yang memprihatinkan, baru beberapa pihak memberikan perhatian. Antara lain :
1.      Piagam berpigura dari Gubernur Jawa Timur Imam Utomo yang diberikan pada 2005. Uang Rp 600.000, plus sebuah keyboard
2.      Piagam dari  Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin pada 2000.
3.      Piagam dari Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo pada 2005, plus bantuan uang. Rp. 600.000
4.          Tahun 2006, Walikota Madiun memberikan sepeda motor Garuda
5.          Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian, tahun 2012-
6.          Dll

"Mengajar"  di SMA  Sukadana KKU

LIRIKNYA HYMNE GURU DIUBAH

Zaman reformasi, aktivis guru yang aktif dipergerakan, meneriakan bahwa mereka bosan dengan gelar PAHLAWAN TANPA TANDA JASA. Mereka bosan dengan kata-kata usang nan memuja namun melenakan. Mereka perlu pengakuan dan konsekwensinya peningkatan kesejahteraan. Akhirnya Depertemen Pendidikan dan Pengurus Besar PGRI meminta (sebagian sumber tidak) SARTONO untuk merubah lirik terakhir dari tanpa tanda Jasa menjadi PEMBANGUN INSAN CENDEKIA.

Ironis, disaat sebagian guru semakin makmur dengan tunjangan, sertifikasi, kenaikan gaji, BOP dll, SARTONO tetap SARTONO yang bersahaja, ikhlas, nrimo dengan keadaaan. Ia hanyalah seorang yang mengantarkan keberhasilan orang lain dengan kereta emas.
Sejak tahun 2008, PGRI Pusat telah menyampaikan surat edaran kepada pengurus PGRI seluruh Indonesia, tentang revisi lagu Hymne Guru.

Namun anehnya masih banyak SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK di Ketapang Kalimantan Barat dan seluruh sekolah di nusantara ini, masih menyanyikan lagu tersebut  dengan versi jadul, kenapa ya ???  APA KURANG SOSIALISASI…

Versi Revisi 

Hymne Guru
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu
Engkau sabagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Pembangun  Insan Cendekia

1 komentar:

  1. Saya masih sepakat dengan lirik yang lama. Tanpa tanda jasa disini lebih menunjukkan pengabdian dan dedikasi, walaupun kurang mendapatkan penghargaan yang setimpal tetapi dedikasi seorang guru memang tidak bisa dinilai dengan uang. Saat ini, istilah pembangun insan cendekia malah terasa terlalu dibesar2kan. Jangan lupa, guru2 muda saat ini motivasi menjadi guru bukan lagi karena keinginan yang kuat mewujudkan mimpi namun sebagian malah sekedar melihat peluang yang besar untuk terangkat menjadi PNS ataupun menjadi guru swasta yang bonafid.

    BalasHapus