Minggu, 27 Mei 2012

HYMNE GURU DAN IRONI PENCIPTANYA




HYMNE GURU DAN IRONI PENCIPTANYA


Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Cip. Sartono

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu

Engkau sabagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa


Rasanya tidak ada murid-murid dari SD, SMP/MTs, SMA/SMK/MA yang tidak tahu atau tidak pernah menyanyikan  Hymne Guru. Pasti semua pernah. Murid pintar, kurang pintar, murid penurut, rajin, murid badung dan tukang onar sekalipun, pasti dengan semangat menyanyikan lagu ini. Maklum, ini lagu Wajib Nasional Men !!!

Lagu ini, juga sering kami nyanyikan bersama-sama di SDN 10  Kampung Kantor Kecamatan Matan Hilir Utara Ketapang Kalimantan Barat  (sekarang Kec. Delta Pawan). Perpisahan waktu kelas III di SMP Negeri I Ketapang  tahun 1991, lagu ini menjadi sangat Hits. sekali.  Saat Pelepasan siswa/siswi kelas III di SMA Negeri I Ketapang tahun 1993, lagu ini lagi-lagi sangat diminati hehehe.. Biasanya diakhiri dengan  tadisi cium tangan dan pelukan antara murid dan guru, melowww ya

Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei setiap tahunnya, lagu ini dinyanyikan semua murid SD/SMP/SMA  sebagai wujud tanggungjawab terhadap nusa, bangsa dan Negara.
Hingga tamat kuliah, tahun 1998, Ane belum tau juga "siapa" pengarang/pencipta lagu Inspiratif tersebut.

Ternyata, lagu penuh makna dan sarat pesan-pesan moral tersebut ditulis oleh seorang Guru Swasta, honorer yang bernama SARTONO yang dilahirkan di Madiun pada 29 Mei 1936. Melalui tinta emasnya, lagu Hymne Guru ini begitu menginspirasi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia untuk menempatkan dan memuliakan guru sebagai pencerah bangsa ini.
Malang nian nasib pak Sartono, disaat sebagian besar guru semakin meningkat kesejahteraannya bahkan ditunjang dengan dana sertifikasi, ia yang mengajar musik di SMP Purna Karya Bhakti Madiun atau SMP Kristen Santo Bernadus, dari  tahun 1978, hingga “pensiun” pada 2002 lalu, Sartono tetap menyandang guru honorer. Ia tak punya gaji pensiunan, karena statusnya bukan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Untuk menambah dan "menambal" periuk dapurnya , Sartono mengajar musik. Sepekan sekali, Sartono yang pandai bermain piano, gitar, dan saksofon, ini rutin mengajar kulintang di Perhutani Nganjuk, sekira 60 kilometer dari rumahnya di Madiun.
Beruntung, istrinya Ignasia Darmiyati, masih mendapatkan dana pensiun 1 jutaan dari pekerjaannya dulu sebagai Guru SDN. Seniman kampung yang beragama ISLAM ini kini tinggal di Jl Halmahera Madiun, Jatim tanpa anak, hanya didampingi 2 orang keponakannya. 

Pak Sartono, yang udah mulai kurang daya ingatnya ini, tidak pernah mendapatkan Royalti dari lagu “wajib” Departemen Pendidikan ini.Berkali-kali ia dijanjikan, namun hingga kini ia tidak pernah menerimanya.
“ Uang dan penghargaan bukan tujuan saya. Saya ikhlas menciptakan lagu tersebut. Saya cukup senang lagu tersebut terkenal,” ujarnya suatu ketika. Ia tidak pernah mengharapkan imbal jasa, balas budi atau pamrih dari pihak manapun. Sebuah prinsip yang patut dibanggakan. Langka untuk saat ini.
Lagu Pahlawan Tanpa tanda jasa  tersebut, diciptakannya pada era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef.
Sartono bercerita, tahun 1980 waktu naik bus ke Madiun ia membaca  Koran yang memuat  pengumuman lomba cipta lagu hymne guru. Sebagai seniman, dia tergelitik mengikuti. ’’Setiba di rumah, sambil rengeng-rengeng, bahkan sambil singsot (bersiul), dia menggubah nada dan menulis lagu itu. 

Namun, ketika akan membuat lirik lagu, inspirasinya mandek. Saat itulah Darmiyati yang baru pulang dari Madura, karena pindah tugas sebagai guru di Madiun, bercerita soal nasib temannya sesama guru.
’’Di luar dugaan, justru cerita saya itu menjadi inspirasi Bapak menulis lirik. Bahkan, tidak lama kemudian lirik lagu itu jadi, dan dicoba dinyanyikan. Akhirnya setelah merasa pas, lagu itu dikirimkan ke Panitia Lomba Cipta Lagu.’’ Ujar Istri Sartono
Sartono masih ingat, dia menjual jas untuk datang langsung langsung ke Jakarta, meski sebetulnya bisa saja dikumpulkan lewat Kantor Dinas P dan K di Madiun.
Di luar dugaan, lagunya menang dengan menyisihkan 200 peserta dari seluruh Indonesia. Seleksi dimulai dari 200 diambil 100, kemudian diseleksi lagi menjadi tinggal 50, susut lagi 25, susut lagi 10, kemudian dipilih lima, akhirnya tinggal tiga. ’’Satu lagu saya, dua lainnya kiriman dari Manado dan Bogor. 


Oleh panitia tidak dipilih juara I, namun peringkatnya lagu karya saya teratas. Jadilah saya pemenang lomba lagu Hymne Guru. Salah satu kelebihannya, karena ditulis dengan not balok dan not angka sekaligus,’’ tuturnya. Hadiahnya besar untuk saat itu, Rp 750.000, ujarnya dengan bangga.

Pitriyadi "mengajar" di SMA  Muhamadiah Ktp


PENGHARGAAN BUAT SARTONO
Setelah media massa dan elektonik mengangkat kehidupan Sartono yang memprihatinkan, baru beberapa pihak memberikan perhatian. Antara lain :
1.      Piagam berpigura dari Gubernur Jawa Timur Imam Utomo yang diberikan pada 2005. Uang Rp 600.000, plus sebuah keyboard
2.      Piagam dari  Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin pada 2000.
3.      Piagam dari Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo pada 2005, plus bantuan uang. Rp. 600.000
4.          Tahun 2006, Walikota Madiun memberikan sepeda motor Garuda
5.          Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian, tahun 2012-
6.          Dll

"Mengajar"  di SMA  Sukadana KKU

LIRIKNYA HYMNE GURU DIUBAH

Zaman reformasi, aktivis guru yang aktif dipergerakan, meneriakan bahwa mereka bosan dengan gelar PAHLAWAN TANPA TANDA JASA. Mereka bosan dengan kata-kata usang nan memuja namun melenakan. Mereka perlu pengakuan dan konsekwensinya peningkatan kesejahteraan. Akhirnya Depertemen Pendidikan dan Pengurus Besar PGRI meminta (sebagian sumber tidak) SARTONO untuk merubah lirik terakhir dari tanpa tanda Jasa menjadi PEMBANGUN INSAN CENDEKIA.

Ironis, disaat sebagian guru semakin makmur dengan tunjangan, sertifikasi, kenaikan gaji, BOP dll, SARTONO tetap SARTONO yang bersahaja, ikhlas, nrimo dengan keadaaan. Ia hanyalah seorang yang mengantarkan keberhasilan orang lain dengan kereta emas.
Sejak tahun 2008, PGRI Pusat telah menyampaikan surat edaran kepada pengurus PGRI seluruh Indonesia, tentang revisi lagu Hymne Guru.

Namun anehnya masih banyak SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK di Ketapang Kalimantan Barat dan seluruh sekolah di nusantara ini, masih menyanyikan lagu tersebut  dengan versi jadul, kenapa ya ???  APA KURANG SOSIALISASI…

Versi Revisi 

Hymne Guru
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu
Engkau sabagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Pembangun  Insan Cendekia

Sabtu, 26 Mei 2012

KISAH KESEDERHANAAN BUNG HATTA DAN AGUS SALIM


Saat ini, sangat langka  sekali kita jumpai pejabat negara serta tokoh-tokoh di republic ini yang menjadikan dirinya keteladanan masyarakat dan bangsa ini. Semoga kisah-kisah teladan di bawah ini menjadi “cermin” bagi kita semua untuk lebih bersikap sederhana dalam aspek kehidupan ini
Bung Karno dan Bung Hatta Founding Father

BUNG HATTA

Di Indonesia, keteladanan sering diperlihatkan Pemimpin besar. Tidak mungkin memisahkan dari sikap kesederhanaan dan keteladanan oleh M. Hatta. Salah satu kisah mengugah dari Bung Hatta yang paling dikenang tentang sepatu Bally. Pada tahun 1950-an, Bally adalah merek sepatu bermutu tinggi yang berharga mahal. Bung Hatta, ketika masih menjabat sebagai wakil presiden, berniat membelinya. Untuk itulah, maka dia menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya. Setelah itu, dia pun berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut. Namun, apa yang terjadi? Ternyata uang tabungan tidak pernah mencukupi untuk membeli sepatu Bally. Ini tak lain karena uangnya selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu orang-orang yang datang kepadanya guna meminta pertolongan. Keinginan Bung Hatta untuk membeli sepasang sepatu Bally tak pernah kesampaian. Bahkan, yang lebih mengharukan, ternyata hingga wafat, guntingan iklan sepatu Ball tersebut masih tersimpan dengan baik. Barang lain yang juga tak mampu dibelinya adalah mesin jahit yang juga sudah lama didambakan sang istri.

Selain itu juga setelah pengunduran diri wakil Presiden, hidup M. Hatta semakin keuangan keluarga Bung Hatta memang sangat kritis. Sampai-sampai, pernah suatu saat Bung Hatta kaget melihat tagihan listrik, gas, air, dan telepon yang harus dibayarnya, karena mencekik leher. Cerita ini kemudian sampai ke Ali Sadikin (Gubernur DKI Jakarta). Ali Sadikin seorang Gubernur DKI kala itu harus membantu beliau untuk melunasi tunggakan beban listrik dan PBB karena selepas menjabat, saldo tabungan bung Hatta tinggal Rp. 200,-
Tulisan dan pikiran Hatta mewarnai pasal 33 UUD 1945.          
Bung Hatta dan Rahmi Hatta

Bung Hatta adalah pendiri Republik Indonesia, negarawan tulen, dan seorang ekonom yang handal. Di balik semua itu, ia juga adalah sosok yang rendah hati. Sifat kesederhanaannya pun dikenal sepanjang masa.
Bung Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 dan dimakamkan di tengah-tengah rakyat, di Pemakaman Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Musisi Iwan Fals mengabadikan kepribadian Bung Hatta itu dalam sebuah lagu berjudul "Bung Hatta".
Terbayang baktimu, terbayang jasamu
Terbayang jelas jiwa sederhanamu
Bernisan bangga, berkapal doa
Dari kami yang merindukan orang
Sepertimu .....

H. AGUS SALIM

KH Agus Salim sangat sederhana, tegas, cerdas, nasionalis sejati dan menyayangi keluarganya. Sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan istilah KEPANDUAN, ia terlatih untuk mengedepankan kesederhanaan dalam kehidupannya.
KH. Agus Salim rela berjualan minyak tanah, sekadar memenuhi kebutuhan hidupnya. Tanpa rasa malu ia menjualnya dengan cara mengecer, meski pada saat itu dia sudah pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan perwakilan tetap Indonesia di PBB. Bahkan saat ada acara di Jogyakarta, KH.Agus Salim terpaksa membawa minyak tanah dan menjualnya disana. Hasil penjualan minyak tanah itu dipergunakan untuk menutupi ongkos perjalanan Jakarta-yogyakarta.

Cerita ini seakan-akan melengkapi saat menjadi Menteri Luar Negeri, sering pake singlet tanpa baju karena kepanasan. Agus Salim menggunakan baju setelah datang diplomat atau Menteri Luar Negeri lainnya. Setelah tamu itu pulang, Agus Salim kembali membuka baju dan menggunakan singletnya kembali. Dengan santai dia berkata ”Bisa dipakai untuk besok”.
Kiprah perjuangan “the grand old man” –julukan Soekarno terhadap Agus Salim– tidak hanya sebatas pendirian Indonesia. Pada beberapa kabinet, Agus Salim selalu menduduki peran sebagai menteri luar negeri. Posisinya itu menjadikan ia sering bertemu dan terlibat perdebatan alot dengan para diplomat Kerajaan Belanda. Salah satu diplomat itu adalah Prof. Schermerhon.
Sebagai seorang “musuh” Schermerhon memiliki kesan yang mendalam terhadap Agus Salim. Dalam Het dagboek van Schermerhoon (Buku Harian dari Schermerhoon), ia menggambarkan Agus Salim: “Orang tua yang sangat pandai ini adalah seorang yang jenius. Ia mampu bicara dan menulis secara sempurna sedikitnya dalam 9 bahasa. Kelemahannya hanya satu: ia hidup melarat.” 



 Tegas sebagai politisi, tapi sederhana dalam sikap dan keseharian. Dia berpindah-pindah rumah kontrakan ketika di Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta. Di rumah sederhana itulah dia menjadi pendidik bagi anak-anaknya, kecuali si bungsu, bukan memasukkannya ke pendidikan formal. Alasannya, selama hidupnya Agus Salim mendapat segalanya dari luar sekolah. ”Saya telah melalui jalan berlumpur akibat pendidikan kolonial,” ujarnya tentang penolakannya terhadap pendidikan formal kolonial yang juga sebagai bentuk pembangkangannya terhadap kekuasaan Belanda. Agus Salim wafat pada 4 November 1954 dalam usia 70 tahun.

Jumat, 25 Mei 2012

POLISI TEGAS TILANG SULTAN HB IX


SUMBER WWW. TRTIBUN  JOGYA 

KISAH KETEGASAN POLISI DAN KENEGARAWAN SULTAN HAMENGKUBUWONO IX, SANGAT INSPIRATIF.


Kota batik Pekalongan di pertengahan tahun 1960an menyambut fajar dengan kabut tipis , pukul setengah enam pagi polisi muda Royadin yang belum genap seminggu mendapatkan kenaikan pangkat dari agen polisi kepala menjadi brigadir polisi sudah berdiri di tepi posnya di kawasan Soko dengan gagahnya. Kudapan nasi megono khas pekalongan pagi itu menyegarkan tubuhnya yang gagah berbalut seragam polisi dengan pangkat brigadir.
Becak dan delman amat dominan masa itu , persimpangan Soko mulai riuh dengan bunyi kalung kuda yang terangguk angguk mengikuti ayunan cemeti sang kusir. Dari arah selatan dan membelok ke barat sebuah sedan hitam ber plat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan arus becak dan delman . Brigadir Royadin memandang dari kejauhan ,sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju kearahnya. Dengan sigap ia menyeberang jalan ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut Sembilan puluh derajat menghentikan laju sedan hitam itu. Sebuah sedan tahun lima puluhan yang amat jarang berlalu di jalanan pekalongan berhenti dihadapannya.
Saat mobil menepi , brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat.
“Selamat pagi!” Brigadir Royadin memberi hormat dengan sikap sempurna . “Boleh ditunjukan rebuwes!” Ia meminta surat surat mobil berikut surat ijin mengemudi kepada lelaki di balik kaca , jaman itu surat mobil masih diistilahkan rebuwes.
Perlahan , pria berusia sekitar setengah abad menurunkan kaca samping secara penuh.
“Ada apa pak polisi ?” Tanya pria itu. Brigadir Royadin tersentak kaget , ia mengenali siapa pria itu . “Ya Allah…sinuwun!” kejutnya dalam hati . Gugup bukan main namun itu hanya berlangsung sedetik , naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna.
Tak peduli Pejabat, TILANG saja pak !!

“Bapak melangar verbodden , tidak boleh lewat sini, ini satu arah !” Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Jogja, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dirinya tak habis pikir , orang sebesar sultan HB IX mengendarai sendiri mobilnya dari jogja ke pekalongan yang jauhnya cukup lumayan., entah tujuannya kemana.
Setelah melihat rebuwes , Brigadir Royadin mempersilahkan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan , namun sultan menolak.
“ Ya ..saya salah , kamu benar , saya pasti salah !” Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggengam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa.
“ Jadi…?” Sinuwun bertanya , pertanyaan yang singkat namun sulit bagi brigadir Royadin menjawabnya .
“Em..emm ..bapak saya tilang , mohon maaf!” Brigadir Royadin heran , sinuwun tak kunjung menggunakan kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya, jangankan begitu , mengenalkan dirinya sebagai pejabat Negara dan Rajapun beliau tidak melakukannya.
“Baik..brigadir , kamu buatkan surat itu , nanti saya ikuti aturannya, saya harus segera ke Tegal !” Sinuwun meminta brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang. Dengan tangan bergetar ia membuatkan surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan surat itu tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tidak boleh memandang beda pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya. Yang paling membuatnya sedikit tenang adalah tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut sinuwun menyebutkan bahwa dia berhak mendapatkan dispensasi. “Sungguh orang yang besar…!” begitu gumamnya.
Surat tilang berpindah tangan , rebuwes saat itu dalam genggamannya dan ia menghormat pada sinuwun sebelum sinuwun kembali memacu Sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal.
Beberapa menit sinuwun melintas di depan stasiun pekalongan, brigadir royadin menyadari kebodohannya, kekakuannya dan segala macam pikiran berkecamuk. Ingin ia memacu sepeda ontelnya mengejar Sedan hitam itu tapi manalah mungkin. Nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapapun berhasil menghibur dirinya.
Saat aplusan di sore hari dan kembali ke markas , Ia menyerahkan rebuwes kepada petugas jaga untuk diproses hukum lebih lanjut.,Ialu kembali kerumah dengan sepeda abu abu tuanya.

Saat apel pagi esok harinya , suara amarah meledak di markas polisi pekalongan , nama Royadin diteriakkan berkali kali dari ruang komisaris. Beberapa polisi tergopoh gopoh menghampirinya dan memintanya menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor.
“Royadin , apa yang kamu lakukan ..sa’enake dewe ..ora mikir ..iki sing mbok tangkep sopo heh..ngawur..ngawur!” Komisaris mengumpat dalam bahasa jawa , ditangannya rebuwes milik sinuwun pindah dari telapak kanan kekiri bolak balik.
“ Sekarang aku mau Tanya , kenapa kamu tidak lepas saja sinuwun..biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia , ngerti nggak kowe sopo sinuwun?” Komisaris tak menurunkan nada bicaranya.
“ Siap pak , beliau tidak bilang beliau itu siapa , beliau ngaku salah ..dan memang salah!” brigadir Royadin menjawab tegas.
“Ya tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia ..ojo kaku kaku , kok malah mbok tilang..ngawur ..jan ngawur….Ini bisa panjang , bisa sampai Menteri !” Derai komisaris. Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.
Brigadir Royadin pasrah , apapun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi , yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja ..memang Koppeg(keras kepala) kedengarannya.

Kepala polisi pekalongan berusaha mencari tahu dimana gerangan sinuwun , masih di Tegalkah atau tempat lain? Tujuannya cuma satu , mengembalikan rebuwes. Namun tidak seperti saat ini yang demikian mudahnya bertukar kabar , keberadaa sinuwun tak kunjung diketahui hingga beberapa hari. Pada akhirnya kepala polisi pekalongan mengutus beberapa petugas ke Jogja untuk mengembalikan rebuwes tanpa mengikut sertakan Brigadir Royadin.
Usai mendapat marah , Brigadir Royadin bertugas seperti biasa , satu minggu setelah kejadian penilangan, banyak teman temannya yang mentertawakan bahkan ada isu yang ia dengar dirinya akan dimutasi ke pinggiran kota pekalongan selatan.
Suatu sore , saat belum habis jam dinas , seorang kurir datang menghampirinya di persimpangan soko yang memintanya untuk segera kembali ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi menggiringnya keruang komisaris yang saat itu tengah menggengam selembar surat.
“Royadin….minggu depan kamu diminta pindah !” lemas tubuh Royadin , ia membayangkan harus menempuh jalan menanjak dipinggir kota pekalongan setiap hari , karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya dipersimpangan soko .
“ Siap pak !” Royadin menjawab datar.
“Bersama keluargamu semua, dibawa!” pernyataan komisaris mengejutkan , untuk apa bawa keluarga ketepi pekalongan selatan , ini hanya merepotkan diri saja.
“Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang !” Brigadir Royadin menawar.
“Ngawur…Kamu sanggup bersepeda pekalongan – Jogja ? pindahmu itu ke jogja bukan disini, sinuwun yang minta kamu pindah tugas kesana , pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat.!” Cetus pak komisaris , disodorkan surat yang ada digengamannya kepada brigadir Royadin.
Surat itu berisi permintaan bertuliskan tangan yang intinya : “ Mohon dipindahkan brigadir Royadin ke Jogja , sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Jogjakarta akan menempatkannya di wilayah Jogjakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat.” Ditanda tangani sri sultan hamengkubuwono IX.
Tangan brigadir Royadin bergetar , namun ia segera menemukan jawabannya. Ia tak sangup menolak permntaan orang besar seperti sultan HB IX namun dia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota pekalongan .Ia cinta pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini .
“ Mohon bapak sampaikan ke sinuwun , saya berterima kasih, saya tidak bisa pindah dari pekalongan , ini tanah kelahiran saya , rumah saya . Sampaikan hormat saya pada beliau ,dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya !” Brigadir Royadin bergetar , ia tak memahami betapa luasnya hati sinuwun Sultan HB IX , Amarah hanya diperolehnya dari sang komisaris namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban ketegasannya.

July 2010 , saat saya mendengar kepergian purnawirawan polisi Royadin kepada sang khalik dari keluarga dipekalongan , saya tak memilki waktu cukup untuk menghantar kepergiannya . Suaranya yang lirih saat mendekati akhir hayat masih saja mengiangkan cerita kebanggaannya ini pada semua sanak family yang berkumpul. Ia pergi meninggalkan kesederhanaan perilaku dan prinsip kepada keturunannya , sekaligus kepada saya selaku keponakannya. Idealismenya di kepolisian Pekalongan tetap ia jaga sampai akhir masa baktinya , pangkatnya tak banyak bergeser terbelenggu idealisme yang selalu dipegangnya erat erat yaitu ketegasan dan kejujuran .

Hormat amat sangat kepadamu Pak Royadin, Sang Polisi sejati . Dan juga kepada pahlawan bangsa Sultan Hamengkubuwono IX yang keluasan hatinya melebihi wilayah negeri ini dari sabang sampai merauke.

Depok June 25′ 2011
Aryadi Noersaid



 
SULTAN HB IX DAN PEDAGANG BERAS
 
Suatu hari terjadi hiruk pikuk kehebohan di depan pasar Kranggan tahun tahun selelah Indonesia merdeka. Saat itu ada seorang wanita pedagang beras yang jatuh pingsan. Usut punya usut, wanita tua itu baru mengalami kejadian yang hanya terjadi seumur hidupnya. Sebelumnya wanita ini sedang menunggu kendaraan di tepi jalan, tiba tiba muncul kendaraan jeep dari arah utara menuju selatan. Wanita ini memang biasa nunut nunut kendaraan yang lewat, dan membayar satu rupiah untuk sekali jalan.
Jeep Willys itu berhenti dan wanita itu menyuruh si ‘ supir ‘ untuk membantu mengangkat karung berasnya. Entah berapa karung, dan supir itu menurutinya.
Setibanya di pasar Kranggan, supir itu juga menurunkan beras berasnya dan menolak ketika dibayar oleh si wanita itu. Tentu saja wanita tua itu marah marah karena mengira si supir meminta uang lebih. Di tengah kemarahannya, si supir lalu pergi begitu saja.
Belum selesai marah marah, seorang polisi menghampiri dan memberitahu siapa sosok supir yang menolak uang tadi.
Tak heran kemudian ia jatuh pingsan. Supir itu adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sang Raja Jogja.

SULTAN HB IX DAN PAK HARTO

Sultan seorang yang rendah hati bahkan ketika penguasa orde baru ingin meminggirkan perannya dalam proses Serangan umum 1 Maret 1949.
Waktu itu Pak Harto menginginkan posisi yang seimbang dalam Film “ Janur Kuning “, sewaktu pertemuan mereka di Prabuningratan sebelum serangan umum. Dengan memakai kursi yang sama. Padahal dalam situasi sebenarnya, dalam ruangan itu hanya satu kursi yang memiliki dua lengan disampingnya dan kursi kursi biasa tanpa lengan.
Kursi dengan lengan hanya untuk Raja. Sementara posisi Pak Harto dengan memakai pakaian abdi dalam harus duduk di kursi biasa.
“ Sudah biarkan jika itu maunya dia “ Sultan mengatakan kepada Sutradara filmnya ketika datang berkonsultasi.




Cerita ini bermula dari artikel blogger Kompasiana, Aryadi Noersaid, yang dipostingkan 25 Juni 2011. Judulnya “Sultan HB IX & Polisi Pekalongan, The Untold Story“. Versi Aryadi, ceritanya bertutur keberanian Brigadir Royadin, seorang polisi di Pekalongan menilang Sri Sultan HB IX.
Rebuwes (SIM) disorongkan ke tangan Ngarso Dalem (sapaan hormat untuk raja-raja Yogya) yang tengah nyetir sendirian dan melanggar di jalan satu arah pada tahun 60an itu. Bukannya marah, Sri Sultan HB IX menerima rebuwes itu, dan melanjutkan perjalanan.
Hari berikutnya giliran Royadin didamprat komandannya. Tapi polisi teguh itu bersikukuh hanya menjalankan peraturan. Tak lama berselang, Sri Sultan HB IX berkirim surat, minta Royadin dipindahkan ke Yogya supaya dekat dengannya.
Royadin menolak, dan memilih tetap dekat bersama keluarganya di Batang. Cerita versi Aryadi itu segera mengundang simpati dan beragam komentar. Terlebih artikel itu kemudian menyebar luas melalui milis, tautan media sosial, dan muncul di berbagai laman.
Benarkah Royadin dan kisah itu ada? Tribun Jogja menelusuri jejak Royadin di Batang. Hasilnya, sosok itu memang benar-benar pernah ada. Kisah serupa juga ditemukan, tapi kali ini versi dua anak kandung almarhum Royadin.
Keluarga almarhum Royadin tinggal di Gang Sriti RT 06/RW 06 No 53, Legoksari, Proyonanggan Tengah, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang. Rumah sederhana itu berada tak jauh dari ruas jalan utama Kabupaten Batang, Jalan Gajahmada.
Semua warga Legoksari ternyata mengenal nama Royadin, mantan polisi yang meninggal pada 14 Februari 2007 lalu dengan pangkat terakhir Pembantu Letnan Satu (Peltu). Rumah itu berada di tengah kampung yang hanya bisa dijangkau jalan kaki atau sepeda motor itu.
Tribun bertemu anak ketiga Royadin bernama Supardiyo (57), dan anak kelima almarhum Murni Janasih (51). Total anak almarhum ada enam; Raminten, Budiati, Supardiyo, Bambang Sugeng, Murni Janasih, dan Sri Siti Handayani.
“Iya cerita Mas Didik (panggilan Aryadi) memang benar. Saya juga pernah diceritain, tapi saat itu bapak tugasnya di Semarang, bukan di Pekalongan. Sekitar tahun 1960an, pas ramai-ramainya PKI, ” kata Diyo, panggilan Supardiyo, saat berbincang di ruang tamu rumah ayahnya, Selasa (10/4) siang.
Ayah lima anak itu mengenang cerita ayahnya sembari tersenyum kecil. Diyo mendengar kisah itu suatu saat ketika ayahnya pulang ke Batang. Ibu dan saudara-saudaranya tinggal di Legoksari, sedangkan ayahnya di asrama polisi di Jalan Admodirono, Semarang. Setiap akhir pekan ayahnya menengok keluarga di Batang.
Bersama saudara-saudaranya, Diyo mendengar ayahnya yang humoris bercerita baru menangkap penggede (orang besar) yaitu Sri Sultan HB IX di Semarang. Kisahnya dimulai saat di Semarang ada upacara dengan banyak pejabat negara yang datang ke Semarang.
Pertengahan 1960-an itu, Royadin bertugas di pos lantas yang seingatnya kalau tidak di pertigaan depan Stasiun Poncol Semarang, di Simpang Lima, ataupun daerah Jalan MT Haryono. Tiba-tiba Royadin melihat ada mobil melanggar jalan searah.
Ia langsung mencegat. Ternyata pengemudinya orang yang sama sekali tidak asing. Royadin tersentak, tapi ia tetap memilih menilang orang besar itu. Sultan HB IX menurut Royadin tidak marah dan memberikan surat-surat kelengkapan yang diminta sesuai peraturan.
Di mata Diyo dan saudara-saudaranya, Royadin ayah yang sederhana. Hidupnya lurus tidak pernah berbuat macam-macam. Bahkan, saat masih susah dan hanya bisa makan nasi jagung pun ayahnya tetap bertanggungjawab.
Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, ia rela menggadaikan apapun. Bahkan saat itu untuk memenuhi kebutuhan rumah, ayahnya sempat menggadaikan sarung dan tidak jarang pakaian dinasnya di pegadaian.
Kenangan akan ayahnya pun membekas di hati Murni Janasih (51). Baginya ayahnya sosok yang bersahaja. Tidak terlalu keras ataupun lembut. Ia tidak pernah melihat ayahnya berkeluh kesah dan bertindak macam-macam.
Data yang dihimpun Tribun, Royadin lahir di Batang, 1 Desember 1926. Ia bertugas sebagai polisi selama 21 tahun 1 bulan. Pernah bertugas di Boyolali, lalu pindah ke Semarang dan pulang kembali ke Batang sebagai Kapolsek Warungasem, Batang hingga pensiun.
Pada 14 Februari 2007, dalam usia ke 81 tahun Royadin berpulang di rumah yang dibangunnya dengan hasil keringatnya sendiri. Ia dimakamkan di pemakaman umum dekat rumahnya di Kepuh, Priyonanggan Tengah, Batang.
Tidak ada yang istimewa dengan makamnya. Hanya ada tulisan Royadin bin Slamet yang berdampingan makam istrinya yang meninggal dua tahun setelahnya. Anak-anaknya kini tersebar di Batang, Semarang, dan Purworejo. (www.tribunjogja.com)